Vanila Latte

Ku selalu mencoba Untuk menguatkan hati Dari kamu yang belum juga kembali Ada satu keyakinan Yang membuat ku bertahan Penantian ini kan terbayar pasti...             Lagu yang berputar diruang kerja. Mengingatkanku pada sebuah penantian yang berujung sia-sia. Aku pernah menantikan seseorang datang. Nyatanya dia justru pergi. Tak tau kah dia disini ada hati yang menunggu. Sudahlah. Ku ingin melupakan segala kenangan tentangnya. Sudah selayaknya hati ini bergegas pergi. Tak boleh diam ditempat.             Suara smartphone terdengar tanda ada email yang sedang masuk. Ya, aku memang sengaja memberi nada tersendiri khusus aplikasi emailku. Bukan apa-apa. Hanya saja ada kabar seseorang yang ku tunggu lewat aplikasi itu. Harus beberapa kali aku menelan kecewa. Nyatanya bukan email dari seseorang itu melainkan dari aplikasi musik langgananku. Sudah dua tahun ini aku m...

Kita yang Sama

Hitam dan putih, langit dan bumi, air dan api bagaikan dua hal yang tak mungkin jadi satu. Itukah yang orang sebut dengan perbedaan? Dua sisi yang tak mungkin untuk menyatu atau disatukan. Orang bilang perbedaan tak akan pernah indah karena perbedaan berarti kita tak akan pernah berada di jalan yang sama. Tapi bukankah Tuhan yang menciptakan perbedaan itu? Itu artinya perbedaan itu sangatlah indah karena Tuhan selalu menciptakan sesuatu yang indah yang ditujukkan untuk umatnya.
            “Hari ini tidak ada kuliah?” Seorang wanita paruh baya membawa segelas susu coklat hangat yang ditaruhnya dihadapanku, menjadi rutinitas yang tak akan pernah beliau lewatkan setiap paginya. Aku pun tak tahu di tengah kesibukannya menjadi seorang single parent beliau masih mau menyempatkan diri untukku. Dari hal-hal kecil ini aku belajar, belajar memaknai arti ketulusan, perhatian dan tentunya kasih sayang.
“Hari ini dosennya sedang berada di luar kota bu, dan kemungkinan jadwal kuliahnya akan diganti.” Jawabku yang masih setia memandang laptop dihadapanku.
“Bagaimana kabar Akbar? Sepertinya sudah lama dia tidak kesini.” Pertanyaan itu sukses mengalihkan konsentrasiku.
“Nathan sedang berada di luar kota bu, dia sedang menjalani terapinya.”
            Hari ini seharusnya aku bisa berada di rumah dengan tenang. Menghabiskan waktu dengan tidur atau menonton tv sepuasnya misalnya. Ah, tapi ibu mengacaukannya. Pertanyaan tadi sukses membuat mood ku kacau balau. Akbar Ramaditya sosok yang membuat hatiku bak roll coaster yang siap dibolak-balikkan kapan saja. Sosok yang menerima segala kekurangan dan kelemahanku. Akbar, apa kabarnya? Sudah dua minggu ini ia tak memberiku kabar. Dan yang aku tahu saat ini ia tengah menjalani terapi wicara di ibu kota dan yang aku tahu proses terapinya hanya berjalan selama satu minggu. Tapi bukankah ini sudah lewat dua minggu? Ah selalu seperti ini.

***

         Aku tak tahan dengan sikapnya kali ini. Dengan modal nekat beserta ongkos tentunya, aku menyambangi kantor dimana ia bekerja. Akbar adalah seorang editor disalah satu redaksi. Ditengah kekurangan, ah ralat aku lebih suka menyebutnya dengan kelebihan, dia adalah sosok yang pekerja keras. Ia tak mau hanya berdiam diri ataupun mengandalkan belas kasihan dari orang lain. Tepat pukul 15.55 WIB aku tiba di depan kantornya dan 5 menit lagi jam kantornya telah usai. Aku berdiri dipintu gerbang mengamati para karyawan yang satu persatu mulai meninggalkan kantor mereka. 15 menit berlalu Akbar tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Apa dia benar-benar belum pulang ya? Aku menghembuskan napas berat, kecewa? Tentunya. Tapi tunggu, aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal disana. Dengan setengah berlari aku menghampirinya.
        “Kak Indra.” Tepat. Aku tidak salah memanggil namanya. Ia menoleh kepadaku dengan alis yang bertautan.
          “Siapa ya?” wajahnya masih menyiratkan sejuta kebingungan.
          “Aku Nabila, temennya Akbar. Kak Indra kenal kan?”
       “Oh maaf Bil, kakak baru inget.” Jawabnya sambil menepuk dahi. “Lhoh, ada apa? tumben kesini?”
            “Hehehehe ini kak mau nanya, Akbar nya sudah masuk kerja belum ya kak?”
           “Itu Akbar.” Aku melihat seseorang yang sangat aku kenal berjalan ke arahku dengan santainya. Salah satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana depannya sambil membawa tas yang diselempangkan di bahu kanan. Aku hanya memandanginya yang semakin dekat ke arahku. Rasa rindu yang terpendam selama berhari-hari bercampur dengan segala emosi yang sudah sampai di ubun-ubun. Begitulah dia yang selalu membuatku seperti ini, merasakan berbagai rasa dalam satu waktu.
        “Bil, aku duluan ya.” Kak Indra membuatku mengalihkan pandanganku sejenak sebelum akhirnya pandanganku kembali fokus pada orang yang berdiri dihadapanku. Ia mengulurkan tangannya, meminta sesuatu dariku tentunya dengan senyum termanisnya. Dan bodohnya diriku yang selalu terbuai dengan senyuman itu. Ku keluarkan sebuah benda kecil yang berisi berlembar-lembar kertas berwarna merah muda yang didalamnya berisi coretan-coretan tinta yang terangkai menjadi kata-kata indah. Mau makan es krim? Tulisnya di kertas itu. Pertanyaan macam apa itu. Begitukah kalimat yang pantas yang ditujukkan kepada kekasih hati yang sudah lebih dari dua minggu tak berjumpa dengannya? Aku menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan kalimat yang baru saja ia tuliskan.            “Apa baru saja kamu menyogokku?” tanyaku sinis. Ya, dalam kondisi seperti ini aku tak lagi bersikap manis dihadapannya. Dia hanya menggeleng membuatku semakin kesal.
           Beberapa detik kami habiskan untuk saling pandang. Aku dengan pandangan sinisku sementara dia? Tatapan yang tidak bisa diartikan.
         “Akbar ayolah... mau sampai kapan kita begini? aku ini pacar kamu Bar, apa susahnya memberi tahu kalau kamu sudah pulang. Kamu selalu seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Aku khawatir sama kamu Akbar. Kamu tahu kan rasanya gimana?” emosiku tak terkendali.
         Tanpa membalas ocehanku dia malah menarik tangan kiriku kemudian memberikan buku tadi dan tanpa rasa bersalahnya ia berjalan mendahuluiku dengan rasa puasnya. Seorang Akbar Ramaditya kamu benar-benar kejam.

***
     Dan disinilah kami berada. Di tengah taman kota tempat dimana kami biasa menghabiskan waktu berdua. Es krim yang berada ditanganku sisa seperempatnya padahal baru tiga menit yang lalu Akbar membelikannya. Entahlah kalau sudah ada es krim seperti tak ada makanan lain yang bisa ku makan di dunia ini.
            “Penjelasan apa yang bisa kamu berikan supaya aku tak menghabiskan energiku hanya untuk marah-marah padamu?” aku memulai pembicaraan dengan nada yang tak bersahabat.
            “aauu (aku) aak (tidak) unya (punya) eaan (penjelasan) a-a (apa-apa).” Ia selalu menggunakan kedua tangannya untuk membantuku memahami apa yang ia katakan. Akbar, tak bosan-bosannya nama itu kusebut dalam setiap doa yang kupanjatkan. Dan salah satu doa yang selalu kupanjatkan adalah mendengar suara indahnya. Suara yang keluar tanpa harus diiringi rasa sakit. Suara yang seringkali menasehatiku dengan kata-kata tajamnya. Suara yang selalu menemaniku sebelum aku terlelap dalam tidurku. Suara yang menjadi penenang dalam hari-hari ku. Dan aku tak pernah lelah untuk selalu berharap agar Tuhan mengabulkan disetiap doa-doa yang kupanjatkan.
            “Tidak memberiku kabar ketika kamu sudah pulang. Kamu pikir aku tidak khawatir? Kamu pikir aku bisa tidur tenang? Oh, atau memang ini disengaja? Supaya kamu bisa menghindar dari aku? Kamu malu punya pacar manja, bawel, cengeng, nggak bisa diandelin seperti aku? Akbar, please jujur sama aku.” Emosiku tak terkendali lagi. Ku keluarkan segala unek-unek yang beberapa bulan ini terpendam.
            Harusnya aku yang bertanya seperti itu Nabila. Apa kamu malu? Disaat mereka memilih seseorang yang normal dan sempurna, tapi kenapa kamu memilih aku? Bertahan sejauh ini bukanlah hal yang mudah. Bukankah pergi dariku adalah hal yang jauh lebih mudah ketimbang harus bertahan? Jangan mempersulit dirimu Nab.
            “Apa baru saja kamu mengakhiri hubungan kita?” detik kemudian mataku mulai berkaca-kaca.            
“aab (Nab)...”
“Selama setahun aku bertahan Bar. Apa kamu tidak menghargai semua pengorbananku?” aku masih bisa menahan untuk tidak berteriak dihadapannya.
“Apa gunanya pengorbananku selama ini Akbar? hah? Jawab!” aku menyerah. Aku berteriak padanya.
Tidak. Pengorbananmu tidak sia-sia. Aku yang terlalu takut Nab.
“Apa yang kamu takutkan Akbar?”
Aku takut jika suatu saat nanti kamu menyerah Nab. Menyerah karena aku tak mampu lagi membuatmu bertahan.
“Menurutmu apa yang membuatku bertahan selama ini? Bukan kamu Akbar. tapi karena memang aku ingin bertahan. Bahkan jika kamu memintaku untuk pergi aku tidak akan pergi karena aku tak ingin pergi. Jadi biarkan tetap begini jangan pernah lagi memintaku untuk pergi.”
            “Kakak...” Aku terkejut ketika ada anak kecil yang menghampiri kami berdua. Segera ku hapus air mata yang sedari tadi terus saja mengalir.
            “Iya. Ada apa?” tanyaku seramah mungkin.
            “Kakak lihat tidak disana?” aku mengikuti arah telunjuknya. Disana ada seorang anak seusianya yang tengah bernyanyi bersama ayah dan ibu nya. Mereka tampak sangat bahagia. Ayah, apa kau juga bahagia disana?. Aku tersenyum getir.
            “Ibu ku tidak mau ku ajak bernyanyi karena adikku sedang menangis.” Ia menunjuk seorang ibu yang tengah kerepotan menenangkan bayinya yang sedang menangis.
            “Kalau begitu kamu bisa bernyanyi dengan ayahmu kan? Ayahmu pasti senang.” Aku berusaha menghiburnya.
            “Kata ibu ayah sudah berada di surga. Kakak tau tidak surga itu dimana? Aku ingin menjemput ayah supaya kita bisa bernyanyi bersama.” Tanyanya dengan wajah yang sangat polos.
            Aku memegang dadaku. Sesak. Aku melihat wajah anak perempuan itu. Wajah yang sangat polos. Wajah yang belum mengerti apa makna surga. Wajah yang rindu akan sosok ayah. Aku mengerti itu karena aku pun merasakannya. Tapi   bukankah aku masih beruntung daripada dia? Aku masih bisa merasakan kasih sayang ayah selama 13 tahun, sementara dia?
            Aku menepuk pelan dadaku berkali-kali. Berusaha menetralisir sesak yang tak kunjung hilang. Akbar berusaha menenangkanku dengn menepuk pelan punggungku. Ia tahu apa yang kurasakan. Dan saat seperti ini aku sangat membutuhkannya.
            “Kakak kenapa?” aku lupa kalau anak perempuan itu masih disini.
            “Ah, tidak apa-apa. Kamu mau es krim tidak? Kakak belikan ya?” aku tidak tahu harus berbuat apa.
            “Aku baru saja makan es krim kak dan ibu bilang aku tidak boleh makan es krim banyak-banyak.”
            “Lalu kamu mau apa?”
            “Ayo kita bernyanyi kak. Seperti mereka. kakak jadi ibuku dan om ini jadi ayahku.” Pintanya. Aku tidak mampu menolak permintaan itu. Tapi bagaimana kalau dia kecewa? Aku menoleh kepada Akbar meminta persetujuannya. Ia menganggukkan kepalanya tanda setuju.
           “Baiklah. Kita akan bernyanyi lagu apa?” mendengarku mengabulkan permintaannya ia berteriak bahagia.
            “Bagaimana kalau lagu Naik Delman?”
            “Oke. Ayo kita mulai. 1, 2, 3..”
Aku dan dia mulai bernyanyi sambil bertepuk tangan. Sementara Akbar mengamati kami berdua yang sedang asyik bernyanyi.
 Pada Hari Minggu ku turut ayah ke kota
Naik delman istimewa ku duduk di muka
Ku duduk samping pak kusir ...
“Kenapa berhenti? Lagunya kan belum selesai?” tanyaku padanya yang tiba-tiba berhenti bernyanyi.
“Kenapa om tidak menyanyi? Om tidak mau ikut bernyanyi karena suaraku jelek ya?” tanyanya sedih. Akbar menggeleng.
“Om ini bukan tidak mau bernyanyi sayang, tapi suaranya sedang serak jadi dia tidak bisa bernyanyi. Ayo kita lanjutkan.” Aku berusaha meyakinkannya. Aku takut dia kecewa.
“Aku tidak mau.” Wajahnya berubah seperti kebanyakan anak kecil yang sedang merengek.
“Kenapa? Disini masih ada ibu yang akan bernyanyi bersamamu.”
“Aku tidak mau bernyanyi kalau om juga tidak mau bernyanyi.”
“Tapi....”
“Om, ayo kita bernyanyi. Aku tidak bisa bernyanyi bersama ayah karena ayah berada di surga. Aku meminta kepada om hanya sekali ini saja karena besok ayah pasti akan pulang dan kita bernyanyi bersama. Om mau kan?”
Akbar mengangguk
“Ayo kita mulai kak.” Ujar anak itu semangat. Aku hanya menatapnya dengan senyuman yang kupaksakan.
Kita bertiga mulai bernyanyi. Dan lagi-lagi ia  mengehentikan lagunya.
“Om kenapa? Om tidak bisa berbicara?” tanyanya dengan wajah yang aku sudah bisa menebaknya. Campuran antara kaget dan kecewa.
“Apa aku tidak akan pernah bernyanyi bersama ayahku?” ia terus memandangi Akbar dengan wajah yang seperti itu. Cairan bening itu keluar dari matanya. Dia menangis. Aku kembali menepuk dadaku. Sesak.       
            Akbar dan anak itu hanya saling pandang. Akbar tersenyum sambil mengusap pelan rambut anak itu. Tersirat sebuah permintaan maaf disana. Meminta maaf karena telah mengecewakannya. Tiba-tiba anak itu berlari menuju ibunya. Aku tahu ia sangat kecewa. Aku menatap punggungya yang semakin menjauh meninggalkan bertubi-tubi rasa sesak yang tak tertahankan.
            Apa kamu juga akan meninggalkanku?
            “Buat apa masih bertanya? Bukankah aku baru saja mengatakannya?”
            Ia tersenyum. Kamu yakin?
            Dan aku tak ingin menjawab apa-apa. Aku lebih suka berada dipundaknya. Karena pundaknya adalah tempat ternyaman bagiku.
***

       Perbedaan itu sangatlah kentara antara aku dan Akbar. Seorang Nabila yang kekanak-kanakan jauh dari kata dewasa dan Akbar dengan segala kedewasaan dan keterbatasannya. Usia Akbar hanya satu tahun di atasku. Tapi lihatlah kedewasaannya, atau aku yang memang tak kunjung dewasa padahal sudah menginjak semester akhir. Justru karena itu aku membutuhkan Akbar untuk selalu berada disampingku. Semenjak aku tak lagi mengenal sosok ayah dalam hidup, betapa aku bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan telah menghadirkan sosok Akbar. Dan aku selalu berharap semoga Tuhan menjaganya agar ia bisa menemaniku hingga akhir.
      Selamat pagi. Tulisnya pada kertas tempel dan dengan sengaja ditempelkannya ke dahiku. Tak ada romantis-romantisnya kan? Tapi itulah cara kita menyayangi satu sama lain.
            “Isshh apaan sih. Kok kertasnya warna kuning? Yang pink mana?”  Mungkin sudah menjadi sifatku yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil. Ya, aku membelikannya kertas tempel warna pink, warna favoritku. Ia menuliskan banyak hal disana lalu memberikannya kepadaku. Di kamarku mungkin sudah ada ratusan kertas tempel darinya sebagai penghias dinding kamarku. Dan aku sangat menyukainya.
          Kuning sama pink, apa bedanya? Mereka sama-sama nama-nama warna kan? Dasar bawel. Ia kembali menempelkannya didahiku.
            “Akbaaarrrr kotor ah.” Membuatku marah-marah setiap pagi mungkin sudah menjadi hobinya.
“Ayo ah buruan bentar telat lagi. Kalau aku telat kamu yang tanggungjawab ya aku nggak mau tau.” Aku masih berkutat dengan omelanku sementara ia sibuk memakaikan helm dikepalaku. Mengeratkan ikatan helm lalu menutup kacanya.
            “Terimakasih.” Ucapku setengah malu-malu. Aku yakin kalau saat ini pipiku bersemu merah akibat ulahnya ini.
        Jangan pernah berpikir bahwa kami biasa melakukannya setiap pagi. Mengantarkanku kuliah bukanlah rutinitasnya. Meskipun jam masuk kerja dan jam kuliahku terkadang sama dengan dia, tapi Akbar bukanlah orang yang memanjakanku. Orang lain mungkin akan rela menempuh ribuan kilometer dengan jalan bebatuan hanya untuk menjemput atau mengantarkan kekasihnya. Tapi Akbar berbeda, lebih sering mengatakan cari angkot, taxi, atau minta teman kamu saja daripada iya sayang, aku kesana. Sayang? Jangan pernah berharap ia memanggilku dengan sebutan itu. Aku sendiri tidak tahu, disisi lain ia begitu cuek nya tapi dilain sisi ia begitu perhatian. Bahkan hal-hal sekecil apa pun tak luput dari perhatiannya. Seperti tadi ketika kami tiba di kampus, dengan sangat lembut ia melepaskan helm, merapikan rambutku yang acak-acakan diterpa angin. Dan dengan bahasa isyaratnya ia memperingatkanku untuk jangan tidur di kelas.
            “Heeiii sejak kapan aku tidur di kelas?”
            Jangan bohong, sayang. Aku selalu memata-mataimu. Tulisnya pada kertas tempel yang selalu ia bawa. Tunggu, sayang? Ia menyebutku sayang? Bercandakah? Semoga saja tidak. Meskipun aku hanya dapat membaca tanpa mendengarnya langsung, asal kamu tahu Bar, tidak ada hal lain lagi yang lebih indah.
            Kenapa bengong?
            “Apa pagi ini kamu sarapan dengan benar?” tanyaku masih syok. Mungkin reaksiku agak berlebihan tapi demi apapun aku benar-benar sangat syok.
            Dia mengangguk. Ada masalah?
           Dengan ragu aku menunjuk kata “sayang” yang ia tuliskan. “Aku khawatir kamu tidak sarapan yang benar pagi ini.” dia tertawa. Bukan. Dia menertawaiku.
            Aku memutar kedua bola mataku. “Apanya yang lucu? Heh?”
         Aku sarapan dengan bubur ayam pagi ini. Apa aku sudah sarapan dengan benar? Akbar masih menahan tawanya.
          Aku melipat kedua tanganku. Memalingkan wajahku darinya. Bukan jawaban itu yang aku inginkan. Menghadapi Akbar memang membutuhkan kesabaran yang sangat ekstra.
        “Aaaaakkkk......” ia menempelkan kertas itu di dahiku lagi. Aku sangat sangat kesal dibuatnya. Aku mengambil kertas itu dari dahi ku dengan kasar lalu membaca isinya. Aku yakin pipiku sudah seperti kepiting rebus.
            Belajarlah dengan benar. Aku selalu mencintaimu, SAYANG.
        Aku senyum-senyum sendiri membacanya sampai tidak sadar Akbar sudah menstater motornya meninggalkanku.
       “AKU JUGA SELALU MENCINTAIMU...” teriakku sekencang-kencangnya dan berharap ia masih mendengarnya. Aku tidak peduli pandangan orang-orang disini yang mungkin menganggapku sudah tidak punya malu.
         Dari hal-hal kecil itu aku banyak belajar darinya. Belajar bagaimana cara menyayangi orang lain dari hal yang paling kecil, lalu semakin menyayanginya ketika aku sudah menemukan cara bagaimana menyayanginya, lalu menyayangi lagi dan lagi hingga aku tak perlu lagi mengatakan bahwa aku menyayangimu.
     Satu tahun berlalu. Banyak hal yang sudah aku lalui bersamanya. Ketika aku memutuskan untuk bersama dan terus bersamanya disitulah segala ujian dimulai. Pernah berpikir untuk pergi? Tentu saja. Menghadapi sifat cueknya yang menurutku sudah melampaui batas tidaklah mudah apalagi dengan sifatku yang kekanak-kanakan. Belum lagi mendapat olokan banyak orang yang tak henti-hentinya kudengar. Bak gunung yang diterpa berjuta-juta kali badai mungkin seperti itu lah yang aku rasakan. Jika aku tak punya pertahanan yang kuat, aku sudah runtuh sejak awal dan disaat itulah dunia ku juga runtuh. Karena duniaku adalah kamu, Akbar Ramaditya.
      Jangan pula beranggapan hanya aku saja yang mengalami hal ini. Akbar pun merasakan hal yang sama. Betapa sulitnya menghadapi sifat kekanak-kanakanku. Yang selalu ingin tahu keberadaanya, keadaanya dan aktivitasnya setiap detik. Yang selalu mengirim pesan hal-hal yang tidak penting hanya untuk menarik perhatiannya. Yang sering menjadikan ia pelampiasan emosiku. Ia pernah memintaku untuk pergi. Bukan karena ia kewalahan menghadapiku tapi karna ia tak mau menyakitiku lebih dalam dan dalam lagi. Bersamanya hanya menambah luka, itu anggapannya. Tapi bagiku bersamanya semakin menambah hari-hariku menjadi berwarna. Dan aku berharap semoga Raynisa Nabila hanya kamu jadikan satu-satunya duniamu.
Egoiskah jika aku hanya melihat Akbar Ramaditya? Egoiskah jika aku meminta  Tuhan untuk selalu menjaganya untukku? Menemaniku hingga akhir. Tak pernah terbesit dibenakku bahwa kami berbeda dan ada pembeda diantara kami. Kita sama, tak ada yang sempurna. Dia dengan kekuranganku dan aku dengan kekurangannya. Dia dengan kelebihanku dan aku dengan kelebihannya. 

Comments

Popular posts from this blog

Macam-Macam Strain

Biosintesis Protein Susu

Beternak Ayam Buras