Hitam
dan putih, langit dan bumi, air dan api bagaikan dua hal yang tak mungkin jadi
satu. Itukah yang orang sebut dengan perbedaan? Dua sisi yang tak mungkin untuk
menyatu atau disatukan. Orang bilang perbedaan tak akan pernah indah karena
perbedaan berarti kita tak akan pernah berada di jalan yang sama. Tapi bukankah
Tuhan yang menciptakan perbedaan itu? Itu artinya perbedaan itu sangatlah indah
karena Tuhan selalu menciptakan sesuatu yang indah yang ditujukkan untuk
umatnya.
“Hari ini tidak ada kuliah?” Seorang
wanita paruh baya membawa segelas susu coklat hangat yang ditaruhnya
dihadapanku, menjadi rutinitas yang tak akan pernah beliau lewatkan setiap
paginya. Aku pun tak tahu di tengah kesibukannya menjadi seorang single parent beliau masih mau
menyempatkan diri untukku. Dari hal-hal kecil ini aku belajar, belajar memaknai
arti ketulusan, perhatian dan tentunya kasih sayang.
“Hari ini dosennya sedang berada di luar kota
bu, dan kemungkinan jadwal kuliahnya akan diganti.” Jawabku yang masih setia
memandang laptop dihadapanku.
“Bagaimana kabar Akbar? Sepertinya sudah lama
dia tidak kesini.” Pertanyaan itu sukses mengalihkan konsentrasiku.
“Nathan sedang berada di luar kota bu, dia
sedang menjalani terapinya.”
Hari ini seharusnya aku bisa berada
di rumah dengan tenang. Menghabiskan waktu dengan tidur atau menonton tv
sepuasnya misalnya. Ah, tapi ibu mengacaukannya. Pertanyaan tadi sukses membuat
mood ku kacau balau. Akbar Ramaditya
sosok yang membuat hatiku bak roll
coaster yang siap dibolak-balikkan kapan saja. Sosok yang menerima segala
kekurangan dan kelemahanku. Akbar, apa kabarnya? Sudah dua minggu ini ia tak
memberiku kabar. Dan yang aku tahu saat ini ia tengah menjalani terapi wicara
di ibu kota dan yang aku tahu proses terapinya hanya berjalan selama satu
minggu. Tapi bukankah ini sudah lewat dua minggu? Ah selalu seperti ini.
***
Aku tak tahan dengan sikapnya kali
ini. Dengan modal nekat beserta ongkos tentunya, aku menyambangi kantor dimana
ia bekerja. Akbar adalah seorang editor disalah satu redaksi. Ditengah
kekurangan, ah ralat aku lebih suka menyebutnya dengan kelebihan, dia adalah
sosok yang pekerja keras. Ia tak mau hanya berdiam diri ataupun mengandalkan
belas kasihan dari orang lain. Tepat pukul 15.55 WIB aku tiba di depan
kantornya dan 5 menit lagi jam kantornya telah usai. Aku berdiri dipintu
gerbang mengamati para karyawan yang satu persatu mulai meninggalkan kantor
mereka. 15 menit berlalu Akbar tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Apa
dia benar-benar belum pulang ya? Aku menghembuskan napas berat, kecewa?
Tentunya. Tapi tunggu, aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal disana.
Dengan setengah berlari aku menghampirinya.
“Kak Indra.” Tepat. Aku tidak salah
memanggil namanya. Ia menoleh kepadaku dengan alis yang bertautan.
“Siapa ya?” wajahnya masih
menyiratkan sejuta kebingungan.
“Aku Nabila, temennya Akbar. Kak
Indra kenal kan?”
“Oh maaf Bil, kakak baru inget.”
Jawabnya sambil menepuk dahi. “Lhoh, ada apa? tumben kesini?”
“Hehehehe ini kak mau nanya, Akbar
nya sudah masuk kerja belum ya kak?”
“Itu Akbar.” Aku melihat seseorang
yang sangat aku kenal berjalan ke arahku dengan santainya. Salah satu tangannya
dimasukkan ke dalam saku celana depannya sambil membawa tas yang diselempangkan
di bahu kanan. Aku hanya memandanginya yang semakin dekat ke arahku. Rasa rindu
yang terpendam selama berhari-hari bercampur dengan segala emosi yang sudah
sampai di ubun-ubun. Begitulah dia yang selalu membuatku seperti ini, merasakan
berbagai rasa dalam satu waktu.
“Bil, aku duluan ya.” Kak Indra
membuatku mengalihkan pandanganku sejenak sebelum akhirnya pandanganku kembali
fokus pada orang yang berdiri dihadapanku. Ia mengulurkan tangannya, meminta
sesuatu dariku tentunya dengan senyum termanisnya. Dan bodohnya diriku yang
selalu terbuai dengan senyuman itu. Ku keluarkan sebuah benda kecil yang berisi
berlembar-lembar kertas berwarna merah muda yang didalamnya berisi
coretan-coretan tinta yang terangkai menjadi kata-kata indah. Mau makan es krim? Tulisnya di kertas
itu. Pertanyaan macam apa itu. Begitukah kalimat yang pantas yang ditujukkan
kepada kekasih hati yang sudah lebih dari dua minggu tak berjumpa dengannya?
Aku menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan kalimat yang baru saja ia
tuliskan. “Apa baru saja kamu
menyogokku?” tanyaku sinis. Ya, dalam kondisi seperti ini aku tak lagi bersikap
manis dihadapannya. Dia hanya menggeleng membuatku semakin kesal.
Beberapa detik kami habiskan untuk
saling pandang. Aku dengan pandangan sinisku sementara dia? Tatapan yang tidak
bisa diartikan.
“Akbar ayolah... mau sampai kapan
kita begini? aku ini pacar kamu Bar, apa susahnya memberi tahu kalau kamu sudah
pulang. Kamu selalu seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Aku khawatir
sama kamu Akbar. Kamu tahu kan rasanya gimana?” emosiku tak terkendali.
Tanpa membalas ocehanku dia malah menarik
tangan kiriku kemudian memberikan buku tadi dan tanpa rasa bersalahnya ia
berjalan mendahuluiku dengan rasa puasnya. Seorang Akbar Ramaditya kamu
benar-benar kejam.
***
Dan
disinilah kami berada. Di tengah taman kota tempat dimana kami biasa
menghabiskan waktu berdua. Es krim yang berada ditanganku sisa seperempatnya
padahal baru tiga menit yang lalu Akbar membelikannya. Entahlah kalau sudah ada
es krim seperti tak ada makanan lain yang bisa ku makan di dunia ini.
“Penjelasan apa yang bisa kamu
berikan supaya aku tak menghabiskan energiku hanya untuk marah-marah padamu?”
aku memulai pembicaraan dengan nada yang tak bersahabat.
“aauu (aku) aak (tidak) unya (punya)
eaan (penjelasan) a-a (apa-apa).” Ia selalu menggunakan kedua tangannya untuk
membantuku memahami apa yang ia katakan. Akbar, tak bosan-bosannya nama itu
kusebut dalam setiap doa yang kupanjatkan. Dan salah satu doa yang selalu
kupanjatkan adalah mendengar suara indahnya. Suara yang keluar tanpa harus
diiringi rasa sakit. Suara yang seringkali menasehatiku dengan kata-kata
tajamnya. Suara yang selalu menemaniku sebelum aku terlelap dalam tidurku. Suara
yang menjadi penenang dalam hari-hari ku. Dan aku tak pernah lelah untuk selalu
berharap agar Tuhan mengabulkan disetiap doa-doa yang kupanjatkan.
“Tidak memberiku kabar ketika kamu
sudah pulang. Kamu pikir aku tidak khawatir? Kamu pikir aku bisa tidur tenang?
Oh, atau memang ini disengaja? Supaya kamu bisa menghindar dari aku? Kamu malu
punya pacar manja, bawel, cengeng, nggak bisa diandelin seperti aku? Akbar, please jujur sama aku.” Emosiku tak
terkendali lagi. Ku keluarkan segala unek-unek yang beberapa bulan ini
terpendam.
Harusnya
aku yang bertanya seperti itu Nabila. Apa kamu malu? Disaat mereka memilih
seseorang yang normal dan sempurna, tapi kenapa kamu memilih aku? Bertahan
sejauh ini bukanlah hal yang mudah. Bukankah pergi dariku adalah hal yang jauh
lebih mudah ketimbang harus bertahan? Jangan mempersulit dirimu Nab.
“Apa baru saja kamu mengakhiri
hubungan kita?” detik kemudian mataku mulai berkaca-kaca.
“aab (Nab)...”
“Selama setahun aku bertahan Bar. Apa kamu
tidak menghargai semua pengorbananku?” aku masih bisa menahan untuk tidak
berteriak dihadapannya.
“Apa gunanya pengorbananku selama ini Akbar?
hah? Jawab!” aku menyerah. Aku berteriak padanya.
Tidak.
Pengorbananmu tidak sia-sia. Aku yang terlalu takut Nab.
“Apa yang kamu takutkan Akbar?”
Aku
takut jika suatu saat nanti kamu menyerah Nab. Menyerah karena aku tak mampu
lagi membuatmu bertahan.
“Menurutmu apa yang membuatku bertahan selama
ini? Bukan kamu Akbar. tapi karena memang aku ingin bertahan. Bahkan jika kamu
memintaku untuk pergi aku tidak akan pergi karena aku tak ingin pergi. Jadi
biarkan tetap begini jangan pernah lagi memintaku untuk pergi.”
“Kakak...” Aku terkejut ketika ada
anak kecil yang menghampiri kami berdua. Segera ku hapus air mata yang sedari
tadi terus saja mengalir.
“Iya. Ada apa?” tanyaku seramah
mungkin.
“Kakak lihat tidak disana?” aku
mengikuti arah telunjuknya. Disana ada seorang anak seusianya yang tengah
bernyanyi bersama ayah dan ibu nya. Mereka tampak sangat bahagia. Ayah, apa kau juga bahagia disana?. Aku
tersenyum getir.
“Ibu ku tidak mau ku ajak bernyanyi
karena adikku sedang menangis.” Ia menunjuk seorang ibu yang tengah kerepotan
menenangkan bayinya yang sedang menangis.
“Kalau begitu kamu bisa bernyanyi
dengan ayahmu kan? Ayahmu pasti senang.” Aku berusaha menghiburnya.
“Kata ibu ayah sudah berada di
surga. Kakak tau tidak surga itu dimana? Aku ingin menjemput ayah supaya kita
bisa bernyanyi bersama.” Tanyanya dengan wajah yang sangat polos.
Aku memegang dadaku. Sesak. Aku
melihat wajah anak perempuan itu. Wajah yang sangat polos. Wajah yang belum
mengerti apa makna surga. Wajah yang rindu akan sosok ayah. Aku mengerti itu
karena aku pun merasakannya. Tapi bukankah aku masih beruntung daripada dia? Aku
masih bisa merasakan kasih sayang ayah selama 13 tahun, sementara dia?
Aku menepuk pelan dadaku
berkali-kali. Berusaha menetralisir sesak yang tak kunjung hilang. Akbar
berusaha menenangkanku dengn menepuk pelan punggungku. Ia tahu apa yang
kurasakan. Dan saat seperti ini aku sangat membutuhkannya.
“Kakak kenapa?” aku lupa kalau anak
perempuan itu masih disini.
“Ah, tidak apa-apa. Kamu mau es krim
tidak? Kakak belikan ya?” aku tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku baru saja makan es krim kak dan
ibu bilang aku tidak boleh makan es krim banyak-banyak.”
“Lalu kamu mau apa?”
“Ayo kita bernyanyi kak. Seperti
mereka. kakak jadi ibuku dan om ini jadi ayahku.” Pintanya. Aku tidak mampu
menolak permintaan itu. Tapi bagaimana kalau dia kecewa? Aku menoleh kepada Akbar
meminta persetujuannya. Ia menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Baiklah. Kita akan bernyanyi lagu
apa?” mendengarku mengabulkan permintaannya ia berteriak bahagia.
“Bagaimana kalau lagu Naik Delman?”
“Oke. Ayo kita mulai. 1, 2, 3..”
Aku dan dia mulai bernyanyi sambil bertepuk
tangan. Sementara Akbar mengamati kami berdua yang sedang asyik bernyanyi.
Pada Hari Minggu ku turut
ayah ke kota
Naik delman istimewa ku duduk di muka
Ku duduk samping pak kusir ...
“Kenapa berhenti? Lagunya kan belum selesai?”
tanyaku padanya yang tiba-tiba berhenti bernyanyi.
“Kenapa om tidak menyanyi? Om tidak mau ikut
bernyanyi karena suaraku jelek ya?” tanyanya sedih. Akbar menggeleng.
“Om ini bukan tidak mau bernyanyi sayang,
tapi suaranya sedang serak jadi dia tidak bisa bernyanyi. Ayo kita lanjutkan.”
Aku berusaha meyakinkannya. Aku takut dia kecewa.
“Aku tidak mau.” Wajahnya berubah seperti
kebanyakan anak kecil yang sedang merengek.
“Kenapa? Disini masih ada ibu yang akan
bernyanyi bersamamu.”
“Aku tidak mau bernyanyi kalau om juga tidak
mau bernyanyi.”
“Tapi....”
“Om, ayo kita bernyanyi. Aku tidak bisa
bernyanyi bersama ayah karena ayah berada di surga. Aku meminta kepada om hanya
sekali ini saja karena besok ayah pasti akan pulang dan kita bernyanyi bersama.
Om mau kan?”
Akbar mengangguk
“Ayo kita mulai kak.” Ujar anak itu semangat.
Aku hanya menatapnya dengan senyuman yang kupaksakan.
Kita bertiga mulai bernyanyi. Dan lagi-lagi
ia mengehentikan lagunya.
“Om kenapa? Om tidak bisa berbicara?”
tanyanya dengan wajah yang aku sudah bisa menebaknya. Campuran antara kaget dan
kecewa.
“Apa aku tidak akan pernah bernyanyi bersama
ayahku?” ia terus memandangi Akbar dengan wajah yang seperti itu. Cairan bening
itu keluar dari matanya. Dia menangis. Aku kembali menepuk dadaku. Sesak.
Akbar dan anak itu hanya saling
pandang. Akbar tersenyum sambil mengusap pelan rambut anak itu. Tersirat sebuah
permintaan maaf disana. Meminta maaf karena telah mengecewakannya. Tiba-tiba anak
itu berlari menuju ibunya. Aku tahu ia sangat kecewa. Aku menatap punggungya
yang semakin menjauh meninggalkan bertubi-tubi rasa sesak yang tak tertahankan.
Apa
kamu juga akan meninggalkanku?
“Buat apa masih bertanya? Bukankah aku
baru saja mengatakannya?”
Ia tersenyum. Kamu yakin?
Dan aku tak ingin menjawab apa-apa.
Aku lebih suka berada dipundaknya. Karena pundaknya adalah tempat ternyaman
bagiku.
***
Perbedaan itu sangatlah kentara
antara aku dan Akbar. Seorang Nabila yang kekanak-kanakan jauh dari kata dewasa
dan Akbar dengan segala kedewasaan dan keterbatasannya. Usia Akbar hanya satu
tahun di atasku. Tapi lihatlah kedewasaannya, atau aku yang memang tak kunjung
dewasa padahal sudah menginjak semester akhir. Justru karena itu aku
membutuhkan Akbar untuk selalu berada disampingku. Semenjak aku tak lagi
mengenal sosok ayah dalam hidup, betapa aku bersyukur dan berterimakasih kepada
Tuhan telah menghadirkan sosok Akbar. Dan aku selalu berharap semoga Tuhan
menjaganya agar ia bisa menemaniku hingga akhir.
Selamat
pagi. Tulisnya pada kertas tempel dan dengan sengaja ditempelkannya ke
dahiku. Tak ada romantis-romantisnya kan? Tapi itulah cara kita menyayangi satu
sama lain.
“Isshh apaan sih. Kok kertasnya
warna kuning? Yang pink mana?” Mungkin
sudah menjadi sifatku yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil. Ya, aku
membelikannya kertas tempel warna pink, warna favoritku. Ia menuliskan banyak
hal disana lalu memberikannya kepadaku. Di kamarku mungkin sudah ada ratusan
kertas tempel darinya sebagai penghias dinding kamarku. Dan aku sangat
menyukainya.
Kuning
sama pink, apa bedanya? Mereka sama-sama nama-nama warna kan? Dasar bawel. Ia
kembali menempelkannya didahiku.
“Akbaaarrrr kotor ah.” Membuatku
marah-marah setiap pagi mungkin sudah menjadi hobinya.
“Ayo ah buruan bentar telat lagi. Kalau aku
telat kamu yang tanggungjawab ya aku nggak mau tau.” Aku masih berkutat dengan
omelanku sementara ia sibuk memakaikan helm dikepalaku. Mengeratkan ikatan helm
lalu menutup kacanya.
“Terimakasih.” Ucapku setengah
malu-malu. Aku yakin kalau saat ini pipiku bersemu merah akibat ulahnya ini.
Jangan pernah berpikir bahwa kami
biasa melakukannya setiap pagi. Mengantarkanku kuliah bukanlah rutinitasnya.
Meskipun jam masuk kerja dan jam kuliahku terkadang sama dengan dia, tapi Akbar
bukanlah orang yang memanjakanku. Orang lain mungkin akan rela menempuh ribuan
kilometer dengan jalan bebatuan hanya untuk menjemput atau mengantarkan
kekasihnya. Tapi Akbar berbeda, lebih sering mengatakan cari angkot, taxi, atau minta teman kamu saja daripada iya sayang, aku kesana. Sayang? Jangan
pernah berharap ia memanggilku dengan sebutan itu. Aku sendiri tidak tahu,
disisi lain ia begitu cuek nya tapi dilain sisi ia begitu perhatian. Bahkan
hal-hal sekecil apa pun tak luput dari perhatiannya. Seperti tadi ketika kami
tiba di kampus, dengan sangat lembut ia melepaskan helm, merapikan rambutku
yang acak-acakan diterpa angin. Dan dengan bahasa isyaratnya ia
memperingatkanku untuk jangan tidur di kelas.
“Heeiii sejak kapan aku tidur di kelas?”
Jangan
bohong, sayang. Aku selalu memata-mataimu. Tulisnya pada kertas tempel yang
selalu ia bawa. Tunggu, sayang? Ia menyebutku sayang? Bercandakah? Semoga saja
tidak. Meskipun aku hanya dapat membaca tanpa mendengarnya langsung, asal kamu
tahu Bar, tidak ada hal lain lagi yang lebih indah.
Kenapa
bengong?
“Apa pagi ini kamu sarapan dengan
benar?” tanyaku masih syok. Mungkin reaksiku agak berlebihan tapi demi apapun
aku benar-benar sangat syok.
Dia mengangguk. Ada masalah?
Dengan ragu aku menunjuk kata “sayang”
yang ia tuliskan. “Aku khawatir kamu tidak sarapan yang benar pagi ini.” dia
tertawa. Bukan. Dia menertawaiku.
Aku memutar kedua bola mataku.
“Apanya yang lucu? Heh?”
Aku
sarapan dengan bubur ayam pagi ini. Apa aku sudah sarapan dengan benar? Akbar
masih menahan tawanya.
Aku melipat kedua tanganku.
Memalingkan wajahku darinya. Bukan jawaban itu yang aku inginkan. Menghadapi Akbar
memang membutuhkan kesabaran yang sangat ekstra.
“Aaaaakkkk......” ia menempelkan
kertas itu di dahiku lagi. Aku sangat sangat kesal dibuatnya. Aku mengambil
kertas itu dari dahi ku dengan kasar lalu membaca isinya. Aku yakin pipiku
sudah seperti kepiting rebus.
Belajarlah
dengan benar. Aku selalu mencintaimu, SAYANG.
Aku senyum-senyum sendiri membacanya
sampai tidak sadar Akbar sudah menstater motornya meninggalkanku.
“AKU JUGA SELALU MENCINTAIMU...”
teriakku sekencang-kencangnya dan berharap ia masih mendengarnya. Aku tidak
peduli pandangan orang-orang disini yang mungkin menganggapku sudah tidak punya
malu.
Dari hal-hal kecil itu aku banyak
belajar darinya. Belajar bagaimana cara menyayangi orang lain dari hal yang
paling kecil, lalu semakin menyayanginya ketika aku sudah menemukan cara
bagaimana menyayanginya, lalu menyayangi lagi dan lagi hingga aku tak perlu lagi
mengatakan bahwa aku menyayangimu.
Satu tahun berlalu. Banyak hal yang
sudah aku lalui bersamanya. Ketika aku memutuskan untuk bersama dan terus
bersamanya disitulah segala ujian dimulai. Pernah berpikir untuk pergi? Tentu
saja. Menghadapi sifat cueknya yang menurutku sudah melampaui batas tidaklah
mudah apalagi dengan sifatku yang kekanak-kanakan. Belum lagi mendapat olokan
banyak orang yang tak henti-hentinya kudengar. Bak gunung yang diterpa
berjuta-juta kali badai mungkin seperti itu lah yang aku rasakan. Jika aku tak
punya pertahanan yang kuat, aku sudah runtuh sejak awal dan disaat itulah dunia
ku juga runtuh. Karena duniaku adalah kamu, Akbar Ramaditya.
Jangan pula beranggapan hanya aku
saja yang mengalami hal ini. Akbar pun merasakan hal yang sama. Betapa sulitnya
menghadapi sifat kekanak-kanakanku. Yang selalu ingin tahu keberadaanya,
keadaanya dan aktivitasnya setiap detik. Yang selalu mengirim pesan hal-hal
yang tidak penting hanya untuk menarik perhatiannya. Yang sering menjadikan ia
pelampiasan emosiku. Ia pernah memintaku untuk pergi. Bukan karena ia kewalahan
menghadapiku tapi karna ia tak mau menyakitiku lebih dalam dan dalam lagi.
Bersamanya hanya menambah luka, itu anggapannya. Tapi bagiku bersamanya semakin
menambah hari-hariku menjadi berwarna. Dan aku berharap semoga Raynisa Nabila
hanya kamu jadikan satu-satunya duniamu.
Egoiskah jika aku hanya
melihat Akbar Ramaditya? Egoiskah jika aku meminta Tuhan untuk selalu menjaganya untukku?
Menemaniku hingga akhir. Tak pernah terbesit dibenakku bahwa kami berbeda dan
ada pembeda diantara kami. Kita sama, tak ada yang sempurna. Dia dengan
kekuranganku dan aku dengan kekurangannya. Dia dengan kelebihanku dan aku
dengan kelebihannya.
Comments
Post a Comment