Vanila Latte
Ku selalu mencoba
Untuk menguatkan hati
Dari kamu yang belum juga kembali
Ada satu keyakinan
Yang membuat ku bertahan
Penantian ini kan terbayar pasti...
Lagu yang berputar diruang kerja.
Mengingatkanku pada sebuah penantian yang berujung sia-sia. Aku pernah
menantikan seseorang datang. Nyatanya dia justru pergi. Tak tau kah dia disini
ada hati yang menunggu. Sudahlah. Ku ingin melupakan segala kenangan
tentangnya. Sudah selayaknya hati ini bergegas pergi. Tak boleh diam ditempat.
Suara smartphone terdengar tanda ada
email yang sedang masuk. Ya, aku memang sengaja memberi nada tersendiri khusus
aplikasi emailku. Bukan apa-apa. Hanya saja ada kabar seseorang yang ku tunggu
lewat aplikasi itu. Harus beberapa kali aku menelan kecewa. Nyatanya bukan email
dari seseorang itu melainkan dari aplikasi musik langgananku. Sudah dua tahun
ini aku menantikan email darinya. Harusnya memang tak boleh begini. Sia-sia.
Dia sudah bahagia dengan yang lain. Aku
menyenderkan punggung di kursi kerjaku. Memejamkan mata sejenak. Mengusir bayangan
tentangnya. Sudah dua tahun ini aku mencoba terbiasa tanpa dia. Tapi terkadang
bayang-bayangnya masih menghantui. Kalau sudah begini aku tak bisa apa-apa.
Sesak. Lagi-lagi suara smartphone ku berbunyi tanda email masuk lagi. Biarkan
saja. Aku tidak mau menelan kecewa lagi.
Aku memutuskan ke kantin kantor
untuk mengisi jam makan siangku. Cacing diperutku sedari tadi sudah memanggil
untuk diberi makan. Benar saja, aku tidak nafsu makan sama sekali. Aku hanya
memesan vanilla late, setidaknya aku tidak sia-sia datang ke tempat ini.
Kenangan itu berputar lagi. Saat pertama kali aku bertemu dengan orang itu. Aku pesan vanila latte saja sama sepertimu. Sial.
Bahkan untuk minum pun aku jadi tak nafsu. Aku berniat beranjak dari sini, tetapi
seseorang malah duduk didepanku. Aku mengurungkan niat.
“Ter, nanti temenin aku ke meet and
greet yuk.”
“MnG sama siapa?”
“Itu lho, penulis novel terkenal.
Halah kalau aku kasih tau juga kamu nggak bakalan tau.”
Dia tidak tau saja
kalau dulu aku maniak novel. Tapi aku sudah meninggalkan kebiasaan itu sejak
dua tahun yang lalu. Sejak seseorang itu pergi. Ayo kita menulis sama-sama. Kali aja bisa bikin novel bareng. Bullshit.
Sore harinya setelah jam kantor usai,
aku menemani Mayang ke acara meet and greet penulis novel idolanya. Sejujurnya
aku enggan karna mood ku sedang tidak baik. Tapi, kalau dibiarkan saja rasanya
juga tidak baik. Menemani Mayang mungkin akan membuat mood ku sedikit membaik.
Mayang memilih mengendarai motor saja, bisa dibayangkan kalau seandainya kita
naik mobil dijam pulang kantor seperti ini. Bisa-bisa sampai disana kita malah
bantu panitia penyelenggara untuk bersih-bersih.
Sesampainya di toko buku tempat
acara berlangsung, Mayang sejenak membeli novel sebelum masuk ke ruangan. Aku
tau pasti dia ingin meminta tanda-tangan penulisnya. Aku memutar kedua bola
mataku. Aku berniat melihat novel di rak yang saat ini sedang diserbu
pengunjung, tapi ku urungkan. Melihat kerumunannya saja sudah membuatku malas.
Aku memilih duduk di kursi sembari melihat Mayang berdesak-desakan diantara
para kerumunan orang yang ingin membeli buku itu. Sebenarnya seberapa tenar sih
penulis itu. Aku membuka ponsel untuk mengusir jenuh. Baru ingat kalau tadi ada
email masuk dan aku belum membukanya. Mungkin saja email penting. Deg. Ada yang
berdetak tak karuan disana saat aku membaca alamat si pengirim email. Tanganku
gemetaran.
Halloo
Lentera senja, sudah lama kita tak bertukar kabar ya. Jika kamu masih
mengingatku, hari ini aku berkunjung ke kota saat kamu masih berkuliah dulu.
Apa kamu masih tinggal dikota ini? Jika iya, bolehkah aku menemuimu?
Tolong segera balas emailku karna waktuku tidak banyak disini.
Tolong segera balas emailku karna waktuku tidak banyak disini.
Dari semesta mu
Spontan aku melihat jam tangan, dia
mengirim email jam setengah 12 dan sekarang sudah jam setengah 5, dia mungkin
sudah pergi. Aku membuang nafas kasar. Lagi-lagi kecewa. Kenapa tidak dari tadi
saja aku membuka emailnya. Padahal sudah dua tahun ini yang ku tunggu. Aku
merutuki diriku yang bodoh ini. Maaf aku
baru membuka email darimu. Apa kamu masih disini?. Tidak. Tidak usahlah.
Balasan yang sudah ku ketik ku hapus lagi. Teringat apa yang sudah dia lakukan
dahulu. Hati yang sudah kupercayakan sepenuhnya padanya dikecewakan begitu
saja. Jahat. Dia sudah jahat padamu Tere.
Ayolah buat apa masih mengharapkannya lagi. Jangan lagi membuka luka Ter.
Mayang menarik tanganku untuk segera
memasuki ruangan. Orang-orang sudah memadati ruangan, dan hanya tinggal kursi
dibarisan belakang yang tersisa. Mayang sepertinya kecewa karna harus duduk
dibarisan paling belakang. Padahal tadi dijalan dia sudah ngebut agar cepat
sampai dan mendapat kursi paling depan. Begitulah, apa yang sudah kita usahakan
hasilnya bisa jadi tak sepadan. Saat memasuki ruangan pun acaranya sudah
dimulai. Tapi beruntung si penulis belum memasuki ruangan. Aku sebenarnya
penasaran seperti apa wajah si penulis. Aku berusaha melihat wajah yang
terpampang di banner tapi karena mata ku minus dan aku lupa membawa kacamata,
aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Jangankan wajah, aku tak bisa
membaca tulisan apa yang ada dibanner itu. Ya sudahlah. Aku tak terlalu peduli
dengan apa yang dibicarakan MC. Aku memilih membuka sosial media diponselku.
Aku memang tidak tertarik dengan acara ini.
“Inilah yang kita tunggu-tunggu,
mari kita sambut Devan Dewangga...”
Apa
aku tidak salah dengar??? Devan Dewangga? Tunggu. Nama itu sepertinya adalah
nama yang amat sangat ku kenal. Suara riuh penonton memenuhi ruangan saat si
penulis berjalan menuju panggung. Sial aku tak bisa dengan jelas melihat
wajahnya. Penulis itu melambaikan tangan kepada penggemarnya sebelum akhirnya
ia duduk dikursi yang sudah disediakan. Aku masih penasaran. Tidak mungkin
penulis itu adalah Dewa. Aku membuka buku yang masih terbungkus plastik bening
yang tadi dibelikan Mayang untukku. Aku langsung membuka bagian akhir dan
menemukan riwayat penulis. Foto Dewa terpampang disana. Devan Dewangga, penulis yang akrab disapa Devan ini lahir di Makassar
tanggal 13 Mei.... Benar. Dia adalah Dewa. Aku menutup kembali novel itu
dan menemukan nama ku di covernya “Lentera Senja”. Namaku dijadikan judul
novelnya yang tengah best seller. Apa-apaan ini. Aku memegang dadaku yang saat
ini tengah sesak tak karuan. Aku berusaha menahan air mata agar tidak keluar.
Mayang yang tengah asik menikmati acara sadar dengan perubahanku.
”Aku
baik-baik saja May.”
“Kamu
serius nggak apa-apa?” Aku mengangguk.
Seketika
memori sepanjang empat tahun yang lalu berputar kembali. Hampir dua tahun aku
menjalin kasih dengannya. Menjalin hubungan jarak jauh beda pulau. Sepanjang
kisah yang kita rajut, kita hanya bertemu dua kali saja. Saat itu aku dan dia
masih sama-sama kuliah, tak patut rasanya jika meminta uang ke orang tua untuk
membeli tiket pesawat hanya untuk bertemu. Oleh karena itu banyak angan yang
ingin kita capai setelah lulus. Ada banyak harapan, ada banyak janji. Namun
harapan hanyalah tinggal harapan dan janji hanyalah tinggal janji yang tak
pernah saling ditepati.
Malam
itu nomor whatsappku yang selama ini menjadi alat komunikasi tiba-tiba diblokir
olehnya. Tanpa sebab yang jelas. Tanpa penjelasan ada apa dan kenapa. Malam itu
merupakan puncak setelah beberapa hari pesan dan telfonku ia abaikan. Aku syok
karna tiba-tiba nomorku diblokir. Apa salahku. Ada apa. Kenapa dengannya. Aku
kebingungan mencari tau. Sepanjang malam aku tak bisa tidur memikirkannya. Aku
sudah menghubungi semua media sosialnya tapi tak ada balasan. Bahkan dibaca
saja pun tidak. Dewa, ada apa.
Pagi
harinya aku dikejutkan dengan sebuah pesan yang masuk
Lentera senja, maaf selama ini aku
tidak jujur padamu. Dan sekarang aku ingin jujur padamu. Aku sebenarnya sudah
punya kekasih disini. Sebelum aku mengenalmu. Maaf atas ketidak beranianku
berkata jujur. Maaf aku menyakitimu. Maaf aku bukan orang yang baik. Senja,
maafkan segala salahku. Lupakan aku. Kamu berhak bahagia dengan yang lain.
Bahagiamu bukan aku Senja. Semestamu bukan aku.
Dewa,
setelah apa yang aku usahakan kenapa kamu membalasnya dengan rasa sakit dan
kecewa. Kamu tidak pernah tau seberapa besar usahaku untuk mengesampingkan
egoku agar tak mengundang amarahmu. Kamu tidak pernah tau bagaimana selama ini
aku membatasi diri untuk menjaga perasaanmu. Kamu tidak pernah tau seberapa
besar aku menaruh rasa percayaku padamu. Kenapa kamu melakukan ini semua Dewa.
Apa selama ini kamu menganggapku perempuan bodoh yang gampang dibodohi? Air
mata ku luruh, mengalir deras. Aku tidak menyangka semua terjadi begini.
“Ter,
Tere...” Mayang menepuk pundakku. Menyadarkan semua lamunanku. Acaranya sudah
selesai. Ternyata aku melamun selama itu.
“Ayo
pulang May.” Aku mengajaknya pulang. Tidak sanggup rasanya berada lebih lama
diruangan ini. Satu ruangan dengannya.
“Kan
belum selesai Ter. Kita minta tanda tangan dulu ya.”
Aku
menimbang-nimbang ajakan Mayang. Jujur aku tidak punya nyali jika harus bertemu
dengannya lagi. Aku tidak sanggup jika harus bertatap mata. Meskipun
kemungkinannya sangat kecil karna antrian sangat panjang. Tapi sebagian hatiku
yang lain berkata. Ini yang sudah kamu
tunggu-tunggu selama dua tahun ini Ter. Apa kamu mau menyia-nyiakannya. Ayolah,
kamu pasti kuat. Akhirnya aku mengiyakan ajakan Mayang. Antri dibarisan
belakang. Wajahnya kian jelas. Aku menatap lekat. Tak ada yang berubah. Masih
seperti Dewa yang ku temui dua tahun yang lalu. Aku semakin berjalan
mendekatinya. Rasa gugup tak dapat kuhindari. Tanganku dingin. Badanku
gemetaran. Apa aku keluar saja dari barisan ini. Tapi... Tidak. Kamu kuat Ter.
Jantungku
semakin berdebar saat giliranku tiba. Sepertinya ia tak sadar jika aku berada
didepannya. Raut wajahnya terlihat sangat kelelahan. Aku menyodorkan novelnya.
Ia menerimanya tanpa melihatku. Ia membuka novel hendak membubuhkan tanda
tangan, tapi diurungkan. “Aku bukan lentera senjamu, melainkan semesta
untukmu.” Seketika ia mendongak ke arahku. Mata kita bertemu detik itu juga.
Raut terkejut tergambar jelas diwajahnya. Aku hanya bisa menatap dengan
perasaan tak karuan. Bingung harus bagaimana. Kita hanya saling tatap. “Mas,
antriannya masih banyak.” Salah seorang panitia mengingatkannya. Buru-buru ia
membubuhkan tanda tangan. Menutup lalu memberikan novel itu padaku. Ia
tersenyum, aku pun membalasnya. Aku membuka novelku yang ditanda tangani
olehnya. Ia menambahkan kata Maaf dan menggambar hati setelah tanda tangannya.
Aku tersenyum melihat itu.
Aku
dan Mayang memutuskan untuk makan sejenak di cafe toko buku ini. Lebih tepatnya
aku menemani Mayang, karna lagi-lagi aku tak nafsu makan. Aku hanya memesan
vanila latte yang mengingatkanku lagi pada Dewa.
Senja, ijinkan aku menemuimu.
Dan disinilah kami. Ditaman kota yang
tak banyak pengunjung.
“Bagaimana kabarmu?” Ia membuka
percakapan
“Baik.” aku memilih menjawab
seadanya saja.
“Maaf.”
Malam itu ia menceritakan semua
kejadian dua tahun yang lalu. Tentang ia yang khilaf, tentang ia yang teramat
pengecut menghubungiku lagi.
Sekuat
apapun aku mencoba menahannya, air mataku tetap saja mengalir. Dewa, entah aku
harus merasa bagimana saat ini. Sakit, saat tiba-tiba kamu dengan gampangnya
berkata jika kamu sudah punya kekasih. Aku sudah terlalu percaya padamu. Tetapi
bagaimanapun aku tak bisa membencimu. Bahkan aku sangat berharap kamu
menghubungiku kembali. Aku sangat berharap akan itu. Bukankah aku terlalu baik
padamu. Memaafkanmu dengan mudah bahkan tak bisa membencimu. Malam itu aku
mengungkapkan apa yang ku rasakan selama ini. Perihal rasa sakit, kecewa,
penantian dan harapan ku ungkapkan segalanya. Pelukan hangat hanya bisa ia
berikan.
Saat ini aku dan Dewa tengah menyusuri
berbagai tempat wisata di kota ini. Keinginan yang sempat ia utarakan beberapa
tahun yang lalu. Katanya kemarin adalah promosi novel terakhirnya, jadi saat
ini ia bisa berlibur. Dan aku mengambil cuti sehari ini hanya untuk menemaninya jalan-jalan.
Kami duduk dibangku pinggir pantai. Meski aku tau ia tak suka pantai. Tapi
bagiku, menikmati senja adalah pelipur setelah seharian melakukan banyak hal
yang melelahkan.
“Banyak hal yang ku sesali dalam perjalanan
hidup ini. Termasuk menyakitimu kala itu.” Ucapnya sembari memandang matahari
yang kian tak terlihat. Lalu pandangannya sedikit menunduk memandang pasir
pantai yang tersapu ombak.
“Menjadi penulis novel best seller
apa juga termasuk yang kamu sesali?”
Ia sedikit tersenyum
mendengar pertanyaanku. Senyuman yang masih sama, begitu manisnya. Menampakkan
deretan gigi yang begitu rapi.
“Tidak. Kalu tidak jadi penulis
novel, mungkin aku tidak akan bertemu denganmu.” Pandangannya beralih padaku sejenak.
“Kamu bisa menghubungiku jika ingin
bertemu. Kamu saja yang mempersulit keadaan.” Aku mencoba mencairkan suasana
yang canggung ini.
“Senja, apakah tak ada kesempatan
kedua?” Dan pertanyaan yang ku hindari terlontar juga. Ia menatap mataku dalam,
seolah turut membujukku untuk memberinya kesempatan kedua. Aku mengalihkan tatapanku.
Agar tak terlena dalam rayunya. Ku keluarkan ponsel dari tas slempangku.
Menunjukkannya sesuatu. Ku yakini ia terkejut saat membacanya. Tapi aku tak
pernah lupa bahwa dia adalah Dewa, orang yang mampu menyembunyikan segalanya. Sekalipun
penyesalannya.
“Akan diselenggarakan minggu depan.
Kamu boleh datang. Aku mengundangmu secara spesial. Meski undangannya sudah
disebar 2 minggu yang lalu.” Aku mencoba tersenyum mengatakan ini. Meski di
dada rasanya sesak sekali.
“Senja, apakah takdir memang tak
pernah memihak pada kita? Apakah jalan kita memang masing-masing? Apakah memang
kita tak berjodoh? Jika boleh ijinkan aku memutar waktu. Ijinkan aku untuk
menebus salahku. Ijinkan aku untuk...” Ia tak dapat melanjutkan ucapannya.
Suaranya lirih. Tak pernah aku melihatnya semenyesal ini. Kami terdiam sejenak.
“Wa, jangan pernah sesali apa yang
sudah terjadi. Tuhan mungkin tidak menakdirkan kita untuk menjadi satu. Tapi
percayalah, ia sudah mempersiapkan yang lain. Yang lebih baik, yang lebih tepat
untuk kita.”
“Ya, kamu benar. Tuhan sudah
mempersiapkan masing-masing untuk kita. Berbahagialah dengan pilihan Tuhan. Ku
percayakan kebahagiaanmu padanya. Maaf pernah menyakitimu.”
Kami
saling bertatap, memaksakan senyum. Meski setelahnya air mataku mengalir deras.
Mungkin takdir Tuhan memang tak benar-benar berpihak pada kita.
Comments
Post a Comment